Friday, March 10, 2006

Diakui

Konon orang hidup perlu pengakuan. Seorang kawan saya yang baru saja dinobatkan menjadi manajer sebuah perusahaan otomotif terkemuka di Jakarta, beberapa kali mengeluh. Pasalnya, dia merasa tidak diakui sebagai manajer baru. Beberapa bawahannya yang secara usia lebih senior dan baru bulan lalu menjadi kawan ngerumpi saat makan siang, tidak memperlakukannya layaknya atasan. Bawahannya ini beberapa kali kedapatan tidak meminta tanda tangannya untuk beberapa dokumen penting, tetapi langsung mengajukannya ke atasan, melangkahi dirinya. Dia tidak terima. Diam-diam, ketidak si bawahan tidak tahu, kawan saya ini “mencuri” dokumen itu dan menandatanganinya sebelum dilihat oleh atasannya. Dia butuh pengakuan. Dia butuh tandatangannya dihargai.

Seorang kawan lain punya cerita berbeda. Ketika kecil, tumbuh di sebuah desa terpencil di Bali, dia dikelilingi orang dewasa yang semua suka minum kopi. Berdiang di dapur sambil ngobrol dan minum kopi adalah ritual pagi hari yang turun-temurun di keluarganya. Seperti layaknya keluarga Bali tradisional, keluarganya terdiri dari extended family yang mungkin mencapai 12 orang. Para lelakilah yang dilayani pagi hari dan diberi kopi untuk diminum sambil ngobrol dan berdiang. Kawan saya ini, karena masih kecil, hanya boleh minta dari kakak, bapak atau pamannya, tidak berhak atas secangkir kopi yang utuh. Ini berlangsung lama, sampai sang kakak, bapak dan paman merasa terganggu dengan kebiasaan kawan saya ini. Ibunya berinisiatif, dia dibuatkan secangkir kopi sendiri. Ketika pertama kali ibunya membuat kopi dengan memperhitungkan dirinya, dia diam-diam bangga. ”Aku sudah dihitung”, begitu katanya. Dia merasa diakui.

Ketut, seorang sahabat lain pernah bercerita tentang pengakuan. Yang lama menjadi persoalannya adalah ketika ayahnya tidak pernah setuju kebiasaannya merokok. Ketika SMA dia kucing-kucingan. Ada hukum tak tertulis di rumahnya, hanya orang tua yang boleh merokok. Seorang anak, apalagi belum mampu menghasilkan uang, No Way!
Lama berselang, kawan saya ini mulai kuliah. Kini dia bebas memilih jalannya. Merokok adalah salah satu kemerdekaannya kerena jauh dari pengawasan sang ayah. Tetapi, dia tetap merasa ini kemerdekaan semu. Kemerdekaan yang dinikmati sendiri tanpa pengakuan. Kemerdekaan yang tidak sah. Sampai pada suatu saat ketika Ketut pulang kampung karena liburan kuliah, ada kejadian monumental di suatu pagi. Ayahnya dengan terang-terangan minta rokok padanya karena tidak punya rokok. Peristiwa yang tidak akan pernah dilupakannya. Peristiwa di mana dia mendapat pengakuan dari ayahnya.

Ngomong-ngomong soal pengakuan, kapan Anda mendapat pengakuan? Atau Anda masih perlu pengakuan yang belum Anda dapatkan?

Monday, December 12, 2005

Cloning, Tuhan dan Hindu

gambar diambil dari http://www.bioscinet.bbsrc.ac.uk/images/dolly.jpgSemeton yang berbagia,
Dalam Hindu, tersedia tempat yang seluas-luasnya untuk siapa dan apa saja. Ada tempat yang nyaman untuk orang biasa seperti saya, untuk seorang yang dengan kepasrahan hati berserah kepada Tuhan, untuk seorang yang tidak peduli, seorang yang percaya, seorang yang tidak percaya bahkan bagi seorang Atheis sekalipun Hindu adalah tempat yang tidak terlalu buruk. (disarikan secara bebas dari "Am I a Hindu?" by Visvanathan). "Kebebasan" inilah yang kira-kira membuat saya nyaman menjadi seorang Hindu.

Tentang Tuhan dan Manusia, saya menganggapnya 'sederhana' saja. Tuhan dengan atau tanpa dipercaya oleh siapapun, tetap demikian adanya. Saya meyakini ada hukum maha sempurna yang telah diciptakanNya dan sekarang hukum itulah yang bekerja tanpa pengecualian. Tidak ada yang lepas dari situ, termasuk Tuhan sendiri pun, sekali lagi menurut saya, tidak akan melanggar hukum itu.

Cloning, dalam pendapat saya yang sederhana, adalah dalam kuasa Tuhan itu sendiri melalui tangan-tangan kecil manusia. Seperti halnya kisah popular tentang seorang religius yang hampir tenggelam dan menolak pertolongan TIM SAR karena yakin Tuhan akan menolongnya. Mengejutkan baginya, Tuhan "tidak datang" padanya hingga dia mati tenggelam.

Dalam sebuah pengadilan Tuhan, diprotesnya mengapa Tuhan tidak datang padahal dia orang yang religius. Tuhan dengan bahasa gaul menjawab "Ah elu sih, gua kan sudah kirimin TIM SAR tadi buat nolongin. Elu-nya aja yang kagak mau!" Intinya, tidak ada kejadian yang berada di luar kuasa hukum Tuhan.

Tuhan, dengan hukumnya yang maha sempurna, tidak datang dengan wujud fisik (apalagi untuk saya yang masih penuh debu dan nista) untuk menunjukkan keberadaanNya. Seperti halnya dalam tempayan berair jernih, di situlah bayangan bulan tampak sempurna. (diadaptasi dari Wayang Cenk Blonk, "Katundung Ngada")

Tanpa menjadi seorang yang mudah menyerah pada keadaan, saya menempatkan Tuhan dalam setiap proses kecil yang tampak maupun tidak tampak.

Email dalam diskusi tentang Cloning dan Tuhan di milis kmhd gaul. Gambar domba diambil dari http://www.bioscinet.bbsrc.ac.uk/images/dolly.jpg

Thursday, December 08, 2005

Tidak Muluk-muluk

“Biasa saja, apa adanya dan menjadi diri sendiri.” Begitu petuah usang yang barangkali populer bagi banyak sekali orang. Hampir semuanya mengatakan ini, terutama mereka yang, seperti juga saya, diracuni banyak sekali tontonan dan bacaan.

Tetapi kenyataannya, seperti yang saya alami sendiri, tidak mudah melakukannya. Kadang definisi ”menjadi diri sendiri” pun kabur. Ada yang bersikeras mengatakan bahwa menjadi diri sendiri dicirikan dengan tidak ikut-ikutan orang lain, artinya ”harus beda”. Ada juga yang mengatakan, tidak peduli meniru atau tidak, yang penting mengikuti hati nurani. Runyamnya, ada juga yang mengatakan, menjadi diri sendiri adalah justru pintar dalam membaca tanda-tanda jaman. ”Inilah diriku, fleksibel dan adaptif” begitu seorang kawan berujar.

Sudah tiga kali mobil tua saya mogok di sekitar Sydney dan tiga kali juga menghubungi NRMA, sebuah perusahaan asuransi kendaraan. ”We’ll be there in about 90 minutes”, begitu seorang gadis berujar di seberang telepon. Dalam waktu 23 menit, sebuah kendaraan penolong sudah datang. Luar biasa, mereka datang jauh lebih awal dari janji mereka. Dan kejadian ini adalah di sebuah highway antara Sydney – Canberra yang sepi dan jauh dari pemukiman. Usaha mereka patut diacungi jempol. Dua kejadian lain pun serupa. Petugas selalu datang jauh lebih awal dari janji mereka. Mengagumkan.

Satu lagi, tadi pagi ada kejadian yang sangat aneh di Sydney: mati lampu! Tanpa pikir panjang, saya pun menghubungi Energy Australia dan mendapat penjelasan bahwa listrik memang padam di dua suburb dan diperkirakan sudah normal pada pukul 10.30 pagi. Mengejutkan dan sekaligus menggembirakan, listrik sudah normal pukul 9.12 pagi. Lagi-lagi, ini jauh lebih awal dari janji mereka.

Diam-diam saya mengagumi NRMA dan Energy Australia karena kepolosan dan ketidakmuluk-mulukannya dalam berjanji. Seandainya saja mereka menjanjikan sesuatu dalam 10 menit tetapi kenyataannya baru terlaksana 12 menit 30 detik kemudian, barangkali saya tidak akan pernah mengagumi mereka begitu rupa. Barangkali inilah cara mereka menjadi diri sendiri.

Friday, September 09, 2005

When Your Name Is a "Simple Past Tense"

Tulisan sederhana di bawah ini menang dalam kompetisi Creative Eyes Contest yang diadakan oleh International Student Service, University of New South Wales, Sydney, Australia.

William Shakespeare said, "What's in a name?" In contrary, Soekarno, the Indonesian first president, argued that a name is everything. He has even changed some people's name because he thought the name might not be philosophically meaningful or even might cause something unlucky.

I personally agree with Soekarno. A name, apparently, has a quite significant meaning. At least, it was what I thought when I was away from home, living in a strange country with a completely different language: Australia.

One day, an ATO officer called me with regards to my TFN application to confirm that my name is really "I Made Andi Arsana". She was confused, firstly because she could not clearly define my first name and last name [too many words, huh]. Secondly she's got confused because there is only one letter in the first name, "I". Further more,
she nearly could not believe that my name is a "simple past tense", which means, "I created Andi Arsana" [oops it wasn't her!]

A quite long conversation was then taken place because I had to explain that "I" indicates that I am a man, "Madé" means I am the second child and "Andi Arsana" is my name. I know it was funny.

If we look to several names of music groups, for instance, it is common to use a complete sentence as a name. "Michael Learns to Rock", which is a simple present tense, is one of them. It might be a bit strange or at least funny if an Indonesian music group called "Paijo Belajar Ngerock" (Paijo learns to rock).

Anyway, if the name could cause a trouble and even danger, I should re-consider my plan to name our future son "I Made Yuin Sydney" :)

Tuesday, August 30, 2005

Selamat Jalan Cak Nur

Bangsa ini kehilangan satu lagi putra terbaiknya; Cak Nur. Lepas dari segala macam kontroversi, saya secara pribadi meyakini Cak Nur adalah sosok yang patut diteladani. Rasanya tidak berlebihan jika kepergian Cak Nur saya setarakan dengan Hatta yang diantarkan dengan lantunan penuh perasaan oleh Bang Iwan. Selamat jalan Cak Nur
 


http://www.tempo.co.id/harian/profil/gam/cak-nur.jpg

 
HATTA

Tuhan terlalu cepat semua
kau panggil saatu-satunya yang tersisa
Proklamator tercinta

jujur, lugu dan bijaksana
mengerti apa yang terlintas dalam jiwa
rakyat Indonesia

hujan air mata dari pelosok negeri
saat melepas engkau pergi
berjuta kepala tertunduk haru
terlintas nama seorang sahabat
yang tak lepas dari namamu

terbayang baktimu
terbayang jasamu
terbayang jelas jiwa sederhanamu
bernisan bangga, berkafan doa
dari kami yang merindukan orang
sepertimu.........